Kamis, 08 Maret 2012

Posted by Unknown On 18.46



HAK ASASI MANUSIA (HAM)
KONSEP DAN IMPLEMENTASIN SERTA
PERLINDUNGAN HAM TERHADAP ANAK JALANAN
DI INDONESIA

Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

 
Oleh : Kelompok 2

1.      Arih Riyanto                                   11520241001
2.      Octaviani Faizatul                          11520241002
3.      Hardika Dwi Hermawan               11520241004
4.      Zein Syahida                                   11520241005


PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Kewarganegaraan dengan tema “Hak Asasi Manusia“, kami mengambil judul “Hak Asasi Manusia Konsep dan Implementasi serta Pelanggaran HAM Anak Jalanan di Indonesia” yang diampu oleh bapak Sunarso.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sunarso yang telah memberikan materi sekaligus membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini, dan juga kami mengucapkan terima kasih kepada teman – teman dan seluruh pihak yang telah mendukung kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan, baik  dari segi penulisan maupun dari segi isi. Oleh karena itu tidak lupa kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan demi terwujudnya hasil yang lebih baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Yogyakarta, 25 Februari 2012

Penyusun

  
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia telah mengalami peningkatan dalam proses penegakannya. Reformasi yang sudah bergulir sejak 13 tahun yang lalu, memantapkan tekad Indonesia dalam penghormatan HAM. Hal ini di buktikan dengan telah dilengkapinya UUD 1945 pada perubahan kedua yang merumuskan HAM di dalam bab tersendiri yang terdiri dari sepuluh pasal, berbeda dengan UUD 1945 awal yang hanya memuat sedikit jaminan perlindungan HAM.
Namun, dalam upaya penegakan HAM itu sendiri, tidak selalu selaras dengan teori yang ada. Banyak hal yang harus diperhatikan dan menjadi perhatian serius berbagai pihak karena sampai saat ini masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi, tidak terkecuali pelanggaran HAM terhadap anak jalanan.
Anak jalanan merupakan sebuah fenomena nyata bagi kehidupan. Fenomena yang menimbulkan permasalah sosial. UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.”Kemudian UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan keputusan presiden RI No.36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Right of The Child. Semua jelas menyebutkan pemerintah punya tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak terlantar dan tak terkecuali anak jalanan yang juga berhak memperoleh hak-hak normal lainnya.
Untuk itu, kita perlu mengetahui bagaimana konsep dan implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia. Setelah mengetahui, kita dapat menjaga dan meminimalisir pelanggaran HAM yang kita lakukan atau orang lain lakukan. Dalam pembahasan ini, kita juga akan melihat bagaimana implementasi HAM terhadap anak jalanan di Indonesia, karena sampai saat ini masih banyak pelanggaran HAM yang menimpa mereka.

B.     Permasalahan
1.      Bagaimana Konsep dan Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia?
2.      Bagaimana perlindungan HAM terhadap Anak Jalanan di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep dan Implementasi Hak Asasi Manusia
Semenjak reformasi, konsep tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sering dibicarakan oleh berbagai ormas, golongan, dan politisi, dari tingkat bawah maupun atas. Namun, dalam penegakannya masih sering terganjal batu yang menghentikan langkah penegakannya.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hahekat dan kodrat kelahiran manusia itu. (Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005 : 2)
Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah melakukan upaya pemajuan HAM, termasuk menciptakan hukum positif yang aplikatif. Dilihat dari segi hukum, tekad bangsa Indonesia tercermin dari berbagai ketentuan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) dan Pancasila, dalam Undang-undang Dasar yang telah di amandemen, Undang-undang Nomor 39/1999 tentang HAM, Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan ratifikasi yang telah dilakukan terhadap sejumlah instrumen HAM intemasional.
1. Dalam Pembukaan UUD 45 dengan tegas dinyatakan bahwa "pejajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". Dalam Pancasila yang juga tercantum dalam Pembukaan UUD 45 terdapat sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Da1am P4, meskipun sekarang tidak dipakai lagi, namun ada penjelasan Sila kedua yang masih relevan untuk disimak, yaitu bahwa "dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dan sebagainya. Karena itu dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan 'tepa salira " serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain".
2. Dalam amandemen kedua UUD 1945, pasal 28 telah dirubah menjadi bab tersendiri yang memuat 10 pasal mengenai hak asasi manusia.
3. Dalam Undang-undang Nomor 39/1999 tentang HAM telah dimuat hak asasi manusia yang tercantum dalam instrumen utama HAM intemasional, yaitu : Deklarasi Universal HAM, Konvensi hak sipil dan politik, Konvensi hak, ekonomi, sosial dan budaya, konvensi hak perempuan, konvensi hak anak dan konvensi anti penyiksaan. Undang-undang ini selain memuat mengenai HAM dan kebebasan dasar manusia, juga berisi bab-bab mengenai kewajiban dasar manusia, Komnas HAM, partisipasi masyarakat dan pengadilan HAM.
4. Dalam Undang-undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM khususnya dalam Bab III dinyatakan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan). Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, antara lain dengan cara yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat kepada anggota kelompok dimaksud. Sedangkan kejahatan terhadap , kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil, antara lain berupa perbudakan, penyiksaan, perbudakan seksual dan pelacuran secara paksa, penganiayaan terhadap suatu kelompok, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid. Dalam Bab VII diatur pidana bagi pelaku pelanggaran HAM berat adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun.
Selain produk hukum nasional tersebut, Indonesia juga telah meratifikasi sejumlah konvensi HAM intemasional, di antaranya yang terpenting adalah :
1. Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), diratifikasi dengan UU No.7 /1984.
2.   Konvensi HAK Anak (CRC), diratifikasi dengan Keppres No.36/1990.
3.   Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), diratifikasi dengan UU No.5/1998.
4. Konvensi Penghapusan Diskriminasi Ras (CERD), diratifikasi dengan UU No.29/1999.
5.  Sejumlah (14) konvensi ILO (Hak pekerja).
Implementasi HAM di Indonesia secara umum dapat dikatakan baik, hal ini dilihat dari perkembangan dan penegakan yang mulai menampakan tanda-tanda kemajuan. Adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang yermasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasidanatau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adik dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 (6) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM meliputi kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujujan secara langsung terhadap penduduk sipil. (ada dalam Penjelasan Pasal 7,8,9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Wujud komitmen pemerintah dalam penegakan HAM dapat kita lihat dari dibentuknya lembaga-lembaga resmi oleh pemerintah, seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Peradilan HAM. Lembaga perlindungan HAM yang lain dibentuk masyarakat, seperti LSM Prodemokrasi dan HAM.
Perkembangan lembaga-lembaga penegakan HAM memang menunjang semakin kuatnya pengawasan serta kontrol terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi. Tetapi, sampai saat ini fenomena pelanggaran dan penegakan HAM yang terjadi masih menjadi keprihatinan kita bersama. Bukti dari lemahnya penegakan HAM di Indonesia dapat dilihat dari pernyataan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim di acara Silahturahmi Aktivis Pro-Demokrtasi di Hotel Acacia,Jakarta Pusat, Sabtu (10/9/2011), “Hampir semua kasus berat, dari 27 Juli dan Mei 98, sampai sekarang tidak berani disentuh pemerintah. Kasus-kasus ini ada di Kejaksaan Agung, Jaksa Agung berada di bawah Presiden, tidak berani ungkap kasus-kasus ini.”
Contoh lain yang lebih sederhana, ada dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan anak-anak dibawah umur atau usia sekolah harus bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau untuk membantu keluarganya. Mereka telah kehilangan kebebasan sebagai anak untuk menikmati masa kanak-kanak dan remaja. Demikian pula kesempatan untuk mengembangkan potensinya.

B.     Hak Asasi Manusia pada Anak Jalanan 

“Every child has a right to grow up in a nurturing environment where they can realize their full potential. The street, with the risks it poses, is not such an environement. Often objects of pity and fear, street children are boys and girls using street as their source of livelihood or home.”
Plan International (2007:1)
Anak jalanan adalah salah satu masalah sosial yang kompleks dan bertalian dengan masalah sosial lain, terutama kemiskinan. Menangani anak jalanan tidaklah sederhana. Oleh sebab itu, penanganannya pun tidak dapat disederhanakan. Strategi intervensi maupun indikator keberhasilan penanganan anak jalanan dilakukan secara holistik mengacu kepada visi atau grand design pembangunan kesejahteraan dengan memperhatikan karakteristik anak jalanan, fungsi dan model penanganan yang diterapkan.
Tetapi tidak sedikit yang berusia di bawah 10 tahun. Anak jalanan bertahan hidup dengan melakukan aktivitas di sektor informal, seperti yang biasa kita lihat di kota Yogyakarta saja, seperti menjual Koran, mencuci kendaraan, menjadi pemulung barang-barang bekas. Sebagian lagi mengemis, mengamen, dan bahkan ada yang mencuri, mencopet atau terlibat perdagangan sex dan obat-obat terlarang.
Akses anak-anak jalanan pada jaminan kesehatan, perlindungan dari kekerasan, jaminan pendidikan, jaminan kelangsungan hidup yang lebih baik, belum mendapat perhatian yang benar-benar oleh berbagai pihak. Penyelesaian persoalan pelanggaran hak anak yang dialami anak-anak jalanan masih sangat parsial dan kasuistis. Bahkan, anak-anak tersebut menjadi korban kedua kalinya atau lebih oleh pihak-pihak yang “mengaku” sebagai pelindung bagi mereka, baik oleh keluarga, masyarakat bahkan aparat pemerintah sendiri.
Pernyataan Menteri Sosial, Salim Segaff Al Jufrie pada 9 Februari 2012 lalu mengatakan bahwa perlindungan anak jalanan menjadi kewajiban mendesak pemerintah. Hal ini dikarenakan, anak jalanan merupakan korban penelantaran, eksploitasi dan diskriminasi. Anak jalanan mengalami pelanggaran hak asasi manusia.
Berikut adalah beberapa jenis kekerasan yang biasa terjadi pada anak, khususnya dikalangan anak jalanan :
a.       Kekerasan fisik
Menampar, menendang, memukul, mencekek, mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya.
b.      Kekerasan psikis
Kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan anak di depan orang lain atau umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata.
c.       Kekerasan Seksual
Diraba-raba, diajak melakukan hubungan seksual, disodomi dan dipaksa melakukan hubungan seksual dan lain sebagainya.
d.      Kekerasan Ekonomi
Pemaksaan orang tua terhadap anak yang berusia dibawah umut untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga.
Hal tersebut menggambarkan seberapa pentingnya perlindungan HAM terhadap anak jalanan guna meminimalisisr berbagai kekerasan yang menimpa mereka.
Berikut adalah beberapa ketentuan pidana atas pelanggaran dan tindakan kejahatan mengenai anak :
• Pasal 77 UU no.23/02 mengenai tindakan diskriminasi, penelantaran yang mengakibatkan anak mengalami sakit baik fisik maupun mental dapat dipidanakan dengan kurungan penjara paling lama 5( lima) tahun atau denda Rp. 100.000.000,00- (seratus juta rupiah)
• Pasal 80 UU no.23/02
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Agar anak jalan­an tidak terus men­jadi korban maka perlu ada upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak mereka. Upaya tersebut akan berjalan efektif bila melibatkan semua stake holder yang terlibat: terutama negara sebagai pemangku kewa­jiban HAM. Apalagi hak-hak anak-anak telah tercantum jelas di berbagai aturan. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Kon­vensi Hak Anak, Konvensi Hak ECOSOB maupun UU No. 23 tahun 2002 ten­tang Perlindungan Anak menegaskan bahwa orang tua, keluarga, masyara­kat, pemerintah, dan negara wajib menjamin, melindungi dan memenuhi hak-hak anak di semua aspek kehidu­pan. Dan, Komnas HAM sesuai dengan fungsinya akan terus mengingatkan negara untuk memenuhi kewajibannya dan mengajak elemen lain yang ada di masyarakat untuk menghormati, me­lindungi, dan memenuhi hak-hak anak, terutama anak jalanan agar mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat, dan benar.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia merupakan prioritas penting mengingat UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan tentang HAM mengamanatkan hal tersebut.
Pemajuan dan Perlindungan HAM merupakan salah satu program utama pemerintah Indonesia sejalan dengan proses reformasi dan pemantapan kehidupan berdemokrasi yang sedang berlangsung. Konsep Hak Asasi Manusia sendiri bukan merupakan hal yang baru lagi bagi bangsa Indonesia yang telah melewati perjuangan yang panjang selama ratusan tahun di bawah kekuasaan kolonialis untuk meraih dan mewujudkan hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) atau merdeka dari penjajahan asing, salah satu hak asasi manusia paling mendasar. Setelah memperoleh kemerdekaan, hak tersebut dipatrikan di dalam pembukaan UUD 1945, yang dianggap sebagai hak segala bangsa.
Menyalahkan negara sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab tak secara otomatis membawa kehidupan anak jalanan menjadi lebih baik. Kita semua, tanpa disadari, telah menjadi orang dewasa, para ”orang tua” yang merangkap sebagai eksekutor bagi anak-anak kita sendiri. Algojo yang menghukum anak secara tidak proporsional. Hukuman yang menghabiskan seluruh energi kehidupan dan masa depan anak-anak dalam bayang-bayang trauma jalanan, dan debu peperangan. Kita menjadi orang tua yang mengambil terlampau banyak dari kehidupan anak kita. (wartawan gunadarma)
Dalam kondisi seperti inilah kemudian menjadi sangat penting. Indonesia sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, maka Negara berkewajiban untuk mengakui dan memenuhi hak dan kebutuhan anak Indonesia, ketika orang tua tidak sanggup lagi melakukannya. Atau ketika anak-anak berada dalam kondisi yang sangat rentan bagi pertumbuhan dan perkembangannya.





0 komentar:

Posting Komentar